CicyNno

CicyNno
......

Minggu, 19 Desember 2010

SNNT (STRUMA NODUSA NON TOKSIT)

LAPORAN PENDAHULUAN
“S N N T”
(Struma nodosa non toksik)
A. DEFENISI
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar tersebut menjadi noduler.
Struma nodosa non toksik adalah pembesaran kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai tanda-tanda hypertiroidisme.
B. KLASIFIKASI
Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:
1. Berdasarkan jumlah nodul; bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter (uninodosa) dan bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
2. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk nodul tiroid yaitu : nodul dingin, nodul hangat dan nodul panas.
3. Berdasarkan konsistensinya; nodul lunak, kistik, keras dan sangat keras.

C. ETIOLOGI
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :

a. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium, misalnya daerah pegunungan.
b. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
1) Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam kol, lobak, kacang kedelai).
2) Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya : thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuan, puberitas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya. Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan arseitektur yang dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah didaerah tersebut.

D. PATOFISIOLOGI
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus, masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar tyroid..
Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis, sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
E. MANIFESTASI KLINIK
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
Klien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme. Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena klien hiperaktif dengan meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar, dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal :
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras.
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.


F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Pada palpasi teraba batas yang jelas, bernodul satu atau lebih, konsistensinya kenyal.
2) Human thyrologlobulin( untuk keganasan thyroid)
3) Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan serum T4 (troksin) dan T3 (triyodotironin) dalam batas normal. Nilai normal T3=0,6-2,0 , T4= 4,6-11
4) Pada pemeriksaan USG (ultrasonografi) dapat dibedakan padat atau tidaknya nodul.
5) Kepastian histologi dapat ditegakkan melalui biopsy aspirasi jarum halus yang hanya dapat dilakukan oleh seorang tenaga ahli yang berpengalaman
6) Pemeriksaan sidik tiroid.
Hasil dapat dibedakan 3 bentuk yaitu :
a) Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah.
b) Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih.
c) Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain
G. PENATALAKSANAAN
1. Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat.
2. Edukasi
Program ini bertujuan merubah prilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium.



3. Penyuntikan lipidol
Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedang kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc – 0,8 cc.
4. Tindakan operasi (strumektomi)
Pada struma nodosa non toksik yang besar dapat dilakukan tindakan operasi bila pengobatan tidak berhasil, terjadi gangguan misalnya : penekanan pada organ sekitarnya, indikasi, kosmetik, indikasi keganasan yang pasti akan dicurigai.
5. L-tiroksin selama 4-5 bulan
Preparat ini diberikan apabila terdapat nodul hangat, lalu dilakukan pemeriksaan sidik tiroid ulng. Apabila nodul mengecil, terapi dianjutkan apabila tidak mengecil bahkan membesar dilakukan biopsy atau operasi.
6. Biopsy aspirasi jarum halus
Dilakukan pada kista tiroid hingga nodul kurang dari 10mm
H. KOMPLIKASI
1. Gangguan menelan atau bernafas
2. Gangguan jantung baik berupa gangguan irama hingga pnyakit jantung kongestif ( jantung tidak mampu memompa darah keseluruh tubuh)
3. Osteoporosis, terjadi peningkatan proses penyerapan tulang sehingga tulang menjadi rapuh, keropos dan mudah patah.





Konsep Keperawatan
A. Pengkajian
1. Pengumpulan Data
a. Identifikasi klien.
b. Keluhan utama klien.
Pada klien pre operasi mengeluh terdapat pembesaran pada leher. Kesulitan menelan dan bernapas. Pada post operasi thyroidectomy keluhan yang dirasakan pada umumnya adalah nyeri akibat luka operasi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Biasanya didahului oleh adanya pembesaran nodul pada leher yang semakin membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernafasan karena penekanan trakhea eusofagus sehingga perlu dilakukan operasi.
d. Riwayat penyakit dahulu
Perlu ditanyakan riwayat penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit gondok, sebelumnya pernah menderita penyakit gondok.
e. Riwayat kesehatan keluarga
Ada anggota keluarga yang menderita sama dengan klien saat ini.
f. Riwayat psikososial
Akibat dari bekas luka operasi akan meninggalkan bekas atau sikatrik sehingga ada kemungkinan klien merasa malu dengan orang lain.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Pada umumnya keadaan penderita lemah dan kesadarannya composmentis dengan tanda-tanda vital yang meliputi tensi, nadi, pernafasan dan suhu yang berubah.
b. Kepala dan leher
Pada klien dengan pre operasi terdapat pembesaran kelenjar tiroid. Pada post operasi thyroidectomy biasanya didapatkan adanya luka operasi yang sudah ditutup dengan kasa steril yang direkatkan dengan hypafik serta terpasang drain. Drain perlu diobservasi dalam dua sampai tiga hari.
c. Sistim pernafasan
Biasanya pernafasan lebih sesak akibat dari penumpukan sekret efek dari anestesi, atau karena adanya darah dalam jalan nafas.
d. Sistim Neurologi
Pada pemeriksaan reflek hasilnya positif tetapi dari nyeri akan didapatkan ekspresi wajah yang tegang dan gelisah karena menahan sakit.
e. Sistim gastrointestinal
Komplikasi yang paling sering adalah mual akibat peningkatan asam lambung akibat anestesi umum, dan pada akhirnya akan hilang sejalan dengan efek anestesi yang hilang.
f. Aktivitas/istirahat
Insomnia, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan berat, atrofi otot.
g. Eliminasi
Urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam faeces, diare.
h. Integritas ego
Mengalami stres yang berat baik emosional maupun fisik, emosi labil, depresi.
i. Makanan/cairan
Kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering, kehausan, mual dan muntah, pembesaran tyroid.
j. Rasa nyeri/kenyamanan
Nyeri orbital, fotofobia.
k. Keamanan
Tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi, iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial) yang menjadi sangat parah.
l. Seksualitas
Libido menurun, perdarahan sedikit atau tidak sama sekali, impotensi.

b. Diagnose keperawatan
I. Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laringeal.
II. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
III. Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
IV. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.
V. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
VI. Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.
c. Intervensi keperawatan
Resiko tinggi terjadi ketidakefektivan bersihan jalan nafas berhubungan dengan obstruksi trakea, pembengkakan, perdarahan dan spasme laryngeal.
1. Tujuan:
Jalan nafas klien efektif
2. Kriteria:
Tidak ada sumbatan pada trakhea
3. Rencana tindakan:
• Monitor pernafasan dan kedalaman dan kecepatan nafas.
• Dengarkan suara nafas, barangkali ada ronchi.
• Observasi kemungkinan adanya stridor, sianosis.
• Atur posisi semifowler
• Bantu klien dengan teknik nafas dan batuk efektif.
• Melakukan suction pada trakhea dan mulut.
• Perhatikan klien dalam hal menelan apakah ada kesulitan.
4. Rasional
• Mengetahui perkembangan dari gangguan pernafasan.
• Ronchi bisa sebagai indikasi adanya sumbatan jalan nafas.
• Indikasi adanya sumbatan pada trakhea atau laring.
• Memberikan suasana yang lebih nyaman.
• Memudahkan pengeluaran sekret, memelihara bersihan jalan nafas.dan ventilsassi
• Sekresi yang menumpuk mengurangi lancarnya jalan nafas.
• Mungkin ada indikasi perdarahan sebagai efek samping opersi.

Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera pita suara/kerusakan laring, edema jaringan, nyeri, ketidaknyamanan.
1. Tujuan :
Klien dapat komunikasi secara verbal
2. Kriteria hasil:
Klien dapat mengungkapkan keluhan dengan kata-kata.
3. Rencana tindakan:
• Kaji pembicaraan klien secara periodik
• Lakukan komunikasi dengan singkat dengan jawaban ya/tidak.
• Kunjungi klien sesering mungkin
• Ciptakan lingkungan yang tenang.
4. Rasionalisasi:
• Suara parau dan sakit pada tenggorokan merupakan faktor kedua dari odema jaringan / sebagai efek pembedahan.
• Mengurangi respon bicara yang terlalu banyak.
• Mengurangi kecemasan klien
• Klien dapat mendengar dengan jelas komunikasi antara perawat dan klien.

Resiko tinggi terhadap cedera/tetani berhubungan dengan proses pembedahan, rangsangan pada sistem saraf pusat.
1. Tujuan :
Menunjukkan tidak ada cedera dengan komplikasi terpenuhi/terkontrol.
2. Criteria
Tidak terdapat cedera
3. Rencana tindakan/intervensi
• Pantau tanda-tanda vital dan catat adanya peningkatan suhu tubuh, takikardi (140 – 200/menit), disrtrimia, syanosis, sakit waktu bernafas (pembengkakan paru).
• Evaluasi reflesi secara periodik. Observasi adanya peka rangsang, misalnya gerakan tersentak, adanya kejang, prestesia.
• Pertahankan penghalang tempat tidur/diberi bantalan, tmpat tidur pada posisi yang rendah.
• Memantau kadar kalsium dalam serum.
• Kolaborasi
Berikan pengobatan sesuai indikasi (kalsium/glukonat, laktat).
4. Rasional
 Manipulasi kelenjar selama pembedahan dapat mengakibatkan peningkatan pengeluaran hormon yang menyebabkan krisis tyroid.
• Hypolkasemia dengan tetani (biasanya sementara) dapat terjadi 1 – 7 hari pasca operasi dan merupakan indikasi hypoparatiroid yang dapat terjadi sebagai akibat dari trauma yang tidak disengaja pada pengangkatan parsial atau total kelenjar paratiroid selama pembedahan.
• Menurunkan kemungkinan adanya trauma jika terjadi kejang.
• Kalsium kurang dari 7,5/100 ml secara umum membutuhkan terapi pengganti.
• Memperbaiki kekurangan kalsium yang biasanya sementara tetapi mungkin juga menjadi permanen.

Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan dengan tindakan bedah terhadap jaringan/otot dan edema pasca operasi.
1. Tujuan:
Rasa nyeri berkurang
2. Kriteria hasil:
Dapat menyatakan nyeri berkurang, tidak adanya perilaku uyg menunjukkan adanya nyeri.
3. Rencana tindakan
• Atur posisi semi fowler, ganjal kepala /leher dengan bantal kecil
• Kaji respon verbal /non verbal lokasi, intensitas dan lamanya nyeri.
• Intruksikan pada klien agar menggunakan tangan untuk menahan leher pada saat alih posisi .
• Beri makanan /cairan yang halus seperti es krim.
• Lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian analgesik.
4. Rasionalisasi
• Mencegah hyperekstensi leher dan melindungi integritas pada jahitan pada luka.
• Mengevaluasi nyeri, menentukan rencana tindakan keefektifan terapi.
• Mengurangi ketegangan otot.
• Makanan yang halus lebih baik bagi klien yang menjalani kesulitan menelan.
• Memutuskan transfusi SSP pada rasa nyeri.

Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan salah interprestasi yang ditandai dengan sering bertanya tentang penyakitnya.
1. Tujuan:
Pengetahuan klien bertambah.
2. Kriteria hasil:
Klien berpartisipasi dalam program keperawatan
3. Rencana tindakan:
• Diskusikan tentang keseimbangan nutrisi.
• Hindari makanan yang banyak mengandung zat goitrogenik misalnya makanan laut, kedelai, Lobak cina dll.
• Konsumsikan makanan tinggi calsium dan vitamin D.
4. Rasionalisasi:
• Mempertahankan daya tahan tubuh klien.
• Kontraindikasi pembedahan kelenjar thyroid.
• Memaksimalkan suplai dan absorbsi kalsium.

Potensial terjadinya perdarahan berhubungan dengan terputusnya pembuluh darah sekunder terhadap pembedahan.
1. Tujuan
Perdarahan tidak terjadi.
2. Kriteria hasil
Tidak terdapat adanya tanda-tanda perdarahan.
3. Rencana tindakan:
• Observasi tanda-tanda vital.
• Pada balutan tidak didapatkan tanda-tanda basah karena darah.
• Dari drain tidak terdapat cairan yang berlebih.( > 50 cc).
4. Rasionalisasi:
• Dengan mengetahui perubahan tanda-tanda vital dapat digunakan untuk mengetahui perdarahan secara dini.
• Dengan adanya balutan yang basah berarti adanya perdarahan pada luka operasi.
• Cairan pada drain dapat untuk mengetahui perdarahan luka operasi.
d. Implementasi
Sesuai dengan rencana tindakan yang diterapkan dan dilakukan.



DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilynn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keparawatan. EGC : Jakarta.
Harnawaty, dalam http://nersgeng.blogspot.com/ 2009/05/asuhan-keperawatan-pasien-struma.html Senin, 08 November 2010.
Mansjoer, arif dkk. 2000. Kapita selekta kedokteran, edisi ketiga jilid 1. Media Aesculapius : Jakarta.
Syarifuddin, drs. AMK. 2006. Anatomi Fisiologi untuk mahasiswa keperawatan, edisi 3. EGC : Jakarta.

Selasa, 14 Desember 2010

Asuhan Keperawatan Metacarpal

KONSEP DASAR FRAKTUR METACARPAL

A. PENGERTIAN
Terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya ( brunner suddarth.2002)
Atau fraktur yang terjadi pada ujung jari karena trauma pada sendi interfalang, atau terjadi pada metacarpal karena karena tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal dan dislokasi basis metacarpal I (arief mansjoer.2000)

B. PENYEBAB FRAKTUR
1.Trauma langsung yaitu fraktur mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang)
2.Trauma tak langsung misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pergelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ada underlying desease dan disebut dengan fraktur patologis.

C. PEMBAGIAN FRAKTUR
1. Berdasarkan hubungan dengan dunia luar.
• Closed frakture (fraktur tertutup). Fraktur yang tidak menyebabkan luka terbuka pada kulit.
• Compound fracture (fraktur terbuka). Adanya hubungan antara fragmen tulang yang patah dengan dunia luar.
2. Berdasarkan jenisnya
• Fraktur komplit : Garis fraktur mengenai seluruh korteks tulang.
• Fraktur tidak komplit : Garis fraktur tidak mengenai seluruh korteks.
3. Berasarkan jenis fraktur metacarpal
Fraktur jari-jari tangan terbagi atas 3 :
a) Baseball finger (mallet finger) : fraktur ujung jari yang dalam keadaan tiba-tiba fleksi pada sendi interfalang karena trauma.
b) Boxer fracture (street fighter’s fracture) : fraktur kolum metacarpal V terjadi karena tidak tahan terhadap trauma langsung ketika tangan mengepal.
c) Fraktur bennet : fraktur dislokasi basis metacarpal I (arief mansjoer . 2000)
Klasifikasi menurut Gustilo Anderson :
• Patah tulang derajad I. : garis patah sederhana dengan luka kurang atau sama 1cm bersih.
• Patah tulang derajad II : garis patah sederhana dengan luka > 1 cm bersih, tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas atau terjadinya flap atau avulsi.
• Patah tulang derajad III : Patah tulang yang disertai kerusakan jaringan lunak luas termasuk kulit, otot, syaraf, pembuluh darah. Patah tulang ini disebabkan oleh gaya dengan kecepatan tinggi.
• Derajad III A : bila patah tulang masih dapat ditutup dengan jaringan lunak.
• Derajad III B : bila patah tulang terbuka tidak dapat ditutup dengan jaringan lunak, sebab jaringan lunak termasuk periosteum sangat berperan dalam proses penyembuhan. Pada umumnya terjadi kontaminasi srius.
• Derajad III C : terdapat kerusakan pembuluh darah arteri.

GAMBARAN KLINIK
 Baseball finger : pasien tidak dapat menggerakkan ekstensi penuh pada ujung distal falang karena distal falang selalu dalam posisi fleksi pada sendi interfalang distal dan terdapat hematoma pada sendi.
 Fraktur bennet : tampak adanya pembengkakan didaerah karpometakarpal I, nyeri tekan, dan sakit ketika digerakkan ( arief mansjoer.2000)

D. PATOFISIOLOGI
. Trauma dapat menyebabkan fraktur yang akan mengakibatkan seseorang memiliki keterbatasan gerak, ketidakseimbangan dan nyeri pergerakan. Jaringan lunak yang terdapat di sekitar fraktur seperti pembuluh darah syaraf dan otot serta organ lain yang berdekatan dapat dirusak karena mencuatnya tulang yang patah. Apabila kulit sampai robek, hal ini akan menyebabkan potensial infeksi. Tulang memiliki sangat banyak pembuluh darah. Akibat dari fraktur, pembuluh darah di dalam keluar ke jaringan lunak atau pada luka yang terbuka sehingga dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. ( Arief Masjoer. 2000 )


(Menurut Barbara C. Long 1989).














E. Proses penyembuhan tulang
Proses penyembuhan tulang pada fraktur terbagi atas 4 bagian tulang :
1. Penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri dari 5 fase, yaitu :
• Fase hematoma.
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematom disekitar luka dan didalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur yang tidak mendapatkan persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter..
• Fase proliferasi seluler sub periosteal dan endosteal.
Terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi
penyembuhan karena adanya sel-sel osteogenik yang berfroliferasi dari periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus interna sebagai aktivitas seluler dalam kanalis modularis.
• Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis).
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat osteoblas diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlekatan polisakarida oleh garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut sebagai woven bone, ini merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
• Fase konsolidasi (fase union secara radiologi).
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-perlahan diubah menjadi tulang yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus akan diresorpsi secara bertahap.
• Fase remodeling
Setelah union lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai bulbus meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini, perlahan-lahan terjadi resorbsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sum-sum.
2. Penyembuhan fraktur pada tulang spongiosa.
Penyembuhan terutama oleh aktivitas endosteum dalam trabekula. Bila vaskularisasi/kontak baik, maka penyembuhannya cepat.
3. Penyembuhan fraktur pada lempeng epifisis.
Fraktur epifisis sangat cepat penyembuhannya, oleh karena epifisis aktif dalam pembentukan tulang.
4. Penyembuhan fraktur pada tulang rawan sendi
Penyembuhan sulit (vaskularisasi kurang/tidak ada). Bila ada celah fraktur akan diisi oleh jaringan ikat. Penyembuhan kembali menjadi tulang rawan hialin dimungkinkan bila dilakukan reposisi anatomis dan fiksasi interna khusus dengan CPM (Continous Passive Movement).

F. FAKTOR YANG BERPENGARUH DALAM KECEPATAN PENYEMBUHAN FRAKTUR.
• Umur penderita.
• Lokalisasi dan konfigurasi fraktur.
• Pergeseran awal fraktur.
• Vaskularisasi pada kedua fragmen.
• Reduksi serta imobilisasi.
• Waktu imobilisasi.
• Ruangan di antara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak.
• Adanya infeksi.
• Gerakan aktif dan pasif anggota gerak.

G. PENATALAKSANAAN FRAKTUR
Yang harus diperhatikan pada waktu mengenal fraktur adalah :
1. Recognisi/pengenalan. Di mana riwayat kecelakaannya atau riwayat terjadi fraktur harus jelas.
2. Reduksi/manipulasi. Usaha untuk manipulasi fragmen yang patah sedapat mungkin dapat kembali seperti letak asalnya.
3. Retensi/memperhatikan reduksi. Merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen
4. Traksi. Suatu proses yang menggunakan kekuatan tarikan pada bagian tubuh dengan memakai katrol dan tahanan beban untuk menyokong tulang.
5. Gips. Suatu teknik untuk mengimobilisasi bagian tubuh tertentu dalam bentuk tertentu dengan mempergunakan alat tertentu.
6. Operation/pembedahan. Saat ini metode yang paling menguntungkan, mungkin dengan pembedahan. Metode ini disebut fiksasi interna dan reduksi terbuka. Dengan tindakan operasi tersebut, maka fraktur akan direposisi kedudukan normal, sesudah itu direduksi dengan menggunakan orthopedi yang sesuai

H. KOMPLIKASI FRAKTUR
1. Mal union
2. Keadaan di mana fraktur menyembuh pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi, varus/valgus, rotasi, kependekan.
3. Delayed union
Fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3 – 5 bulan (tiga bulan untuk anggota gerak atas dan lima bulan untuk anggota gerak bawah).
4. Non union
Apabila fraktur tidak menyembuh antaran 6 – 8 bulan dan tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartritis (sendi palsu).


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah, EGC, Jakarta.

Doenges, E. Marilynn, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi III EGC, Jakarta.
http://earthmedicalinfo.blogspot.com/
.
Mansjoer, arief ,2000, Kapita Selekta Kedokteran.edisi II, Aeschepalus, Jakarta